Orang Tua Tidak Peduli Pertumbuhan Kerohanian Anak

Oleh : Handi Irawan D, Cemara A. Putra

Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” (Amsal 22:6)

Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. (Efesus 6:4)

Kedua ayat ini tentu sudah tidak asing bagi kita. Tuhan memerintahkan orang tua untuk mendidik anak-anaknya di jalan ajaran dan nasihat Tuhan. Akan tetapi, bagaimanakah realita pelaksanaannya di Indonesia ? Sudahkah orang tua mendidik kerohanian anak-anaknya ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita melihat hasil survei Bilangan Research Center (BRC) yang berjudul Spiritualitas Generasi Muda Kristen di Indonesia. Pada tahun 2018, BRC telah melakukan survei terhadap 4.095 generasi muda Kristen yang tersebar di 42 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia.

Hasil survei tersebut menyatakan bahwa sosok yang paling berjasa yang menuntun Generasi Muda Kristen di Indonesia untuk menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat (dilahirkan kembali) dan mengambil keputusan untuk percaya dan menjadi pengikut Kristus yang sungguh-sungguh adalah Orang Tua (73.1%) dan Pendeta (10.6%).

Bahkan bila dilihat pada semua rentang usia mulai dari 0-3 tahun, 4-10 tahun, 11-14 tahun, 15-18 tahun, sampai 19-25 tahun, Orang Tua selalu menjadi sosok yang paling berpengaruh, baru diikuti dengan Pendeta. Hanya saja persentase peran Orang Tua mulai menurun seiring dengan bertambahnya usia anak, dari 88.9% pada rentang usia sebelum 4 tahun menjadi 53.7% pada rentang usia 19-25 tahun. Peran Pendeta pun menjadi lebih besar, dari 3.9% pada rentang usia sebelum 4 tahun menjadi 15.0% pada rentang usia 19-25 tahun.

Mungkin sebagian dari kita berpikir, apakah memang benar bahwa anak-anak tersebut memilih mengikut Yesus daripada agama/kepercayaan lain ? Jangan-jangan sebenarnya mereka tidak memilih, karena hanya sekedar mengikuti agama orang tua, baik orang tua mereka adalah seorang Kristen yang sungguh atau tidak. Pemikiran ini didasarkan pada kenyataan bahwa secara umum anak yang berusia 0-14 tahun belum memiliki kapabilitas dan juga waktu untuk mempelajari dan membandingkan minimal 2 pilihan agama, yaitu agama yang diajarkan oleh lingkungan tempat mereka bertumbuh (rumah, gereja, dan sekolah) dengan 1 agama lain yang ada di masyarakat sekitarnya.

Memang harus diakui bahwa survei kali ini tidak sampai menanyakan apa yang membuat mereka memilih keyakinan bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat. Apakah semata-mata karena orang tua atau karena mereka sudah memikirkan dengan penuh pertimbangan. Apakah mereka menganggap hanya Yesus satu-satunya jalan ke Surga atau agama lain juga dapat membawa ke surga.

Untuk menjawab keraguan ini, mari kita melihat secara khusus pada pilihan rentang usia yang paling memungkinkan mereka untuk memiliki kapabilitas dan waktu untuk mempelajari dan membandingkan agama, yaitu 19-25 tahun. Secara berurutan, sosok yang paling banyak membawa kepada Yesus adalah orang tua (53.7%), diikuti dengan pendeta (15.0%), diri sendiri (4.8%), dan guru agama di sekolah (2.7%).

Hal yang cukup menarik dari hasil tersebut adalah adanya 4.8% responden yang berkata bahwa diri mereka sendiri yang berperan paling besar. Ini menunjukkan bahwa sebagian kecil dari mereka sudah memiliki keputusannya sendiri, bukan hanya karena ikut apa kata lingkungan.

Kembali pada topik utama dari tulisan ini yaitu peran orang tua pada kerohanian anak. Bagaimana efek kesungguhan orang tua dalam mengikut Kristus pada persentase peran mereka sebagai sosok yang paling berpengaruh pada pengambilan komitmen anak mereka untuk mengikut Kristus ?

Hasil survei di segala rentang usia menunjukkan bahwa jika kedua orang tua merupakan pengikut Kristus yang sungguh-sungguh, persentase orang tua sebagai sosok yang paling berpengaruh dalam pengambilan keputusan untuk ikut Yesus bervariasi dalam rentang 57.9% - 92.4%, lebih tinggi dari jika hanya ibu yang pengikut Kristus sungguh-sungguh (49.8% - 90.5%), diikuti dengan jika hanya ayah (41.4% - 68.8%), dan yang terakhir jika keduanya bukan (22.7% - 66.7%).  Hal ini menunjukkan bahwa hal tersebut sangat berpengaruh, bahkan baik ayah maupun ibu memiliki pengaruhnya tersendiri.

Bagaimana dengan peran pendeta dan guru agama di sekolah jika salah satu atau bahkan kedua orang tua bukan pengikut Kristus yang sungguh ? Apakah akan lebih berpengaruh ? Ternyata hasilnya menunjukkan bahwa persentase orang tua selalu lebih banyak dari dengan pendeta dan guru agama di sekolah. Bahkan persentase guru agama di sekolah sangat kecil jika dibandingkan dengan pendeta. Jadi meskipun kedua orang tua bukan pengikut Kristus yang sungguh, mereka masih memiliki peran yang lebih besar daripada pendeta dan guru agama di sekolah

Sampai sejauh ini , dapat kita simpulkan bahwa peran orang tua sudah sangat baik dalam membawa anak pada Yesus. Bahkan kesungguhan baik ayah atau pun ibu dalam mengikut Kristus juga sangat berpengaruh dalam hal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa iman dan praktik kehidupan orang tua juga cukup efektif berperan dalam menanamkan dasar iman bagi anak-anaknya.

Namun, apakah tugas orang tua hanya berhenti sampai membawa anak-anak menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka ?

Dalam pesan terakhirnya di dunia (Matius 28 : 19 – 20), Yesus berkata “Jadikanlah semua bangsa murid-Ku”. Yesus memerintahkan pada murid-murid-Nya agar semua orang di dunia ini menjadi murid Yesus, bukan hanya sekedar percaya bahwa Yesus adalah Juruselamat.

Apa yang dimaksud dengan menjadi murid Yesus ? Mari kita lihat Lukas 6:40. “Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, tetapi barangsiapa yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya.”. Dari ayat ini dapat kita artikan bahwa tujuan seorang murid adalah menjadi sama dengan gurunya. Menjadi murid Yesus berarti senantiasa belajar dan bertumbuh untuk menjadi serupa dengan Yesus. Itu adalah tujuan akhir dari menjadi seorang murid Yesus (Roma 8:29-30).

Tentunya perintah menjadikan murid Yesus juga ditujukan bagi para orang tua. Apakah orang tua dari generasi muda Kristen Indonesia sudah berusaha membuat anak-anaknya menjadi murid Yesus ? Apakah mereka sudah membimbing spiritualitas anak-anak mereka ? Apakah mereka sudah menuntun anak-anaknya untuk menjadi serupa dengan Yesus ?

Hasil survei menunjukkan bahwa hanya 23% orang tua yang dianggap baik dalam membimbing spiritualitas anak, setelah anak tersebut menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Tentu saja orang tua yang keduanya merupakan Kristen yang sungguh akan lebih baik dalam membimbing (27.6%) dibandingkan dengan yang keduanya bukan Kristen yang sungguh-sungguh (4.6%). Jika hanya salah satu yang merupakan seorang Kristen yang sungguh, seorang ibu lebih berpengaruh (16.0%) dalam pembimbingan yang baik daripada seorang ayah (10.7%)

Hal ini menunjukkan bahwa masih sedikit orang tua yang melakukan tugasnya dengan cukup baik, mengingat Tuhan memerintahkan pada orang tua untuk selalu membimbing spiritualitas anak-anaknya, seperti yang tertulis di Ulangan 6 : 1 – 9. Bahkan ayat 7 mengatakan “haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun”. Ini standar yang diberikan Tuhan bagi orang tua untuk membimbing spiritualitas anak.

Tim Elmore dalam bukunya yang berjudul Mentoring membandingkan metode pemuridan Yahudi dan Yunani. Metode pemuridan Yahudi lebih bersifat proaktif, yaitu menekankan pada relasi, pengalaman, dan partisipasi langsung (learning by doing), sedangkan metode pemuridan Yunani lebih bersifat seperti ruang kelas, yaitu akademis, pasif, dan teoritis.

Metode pemuridan Yahudi inilah yang dipakai Yesus dalam hidupnya di dunia. Yesus hidup bersama dengan murid-murid-Nya. Sejak awal memanggil murid-murid-Nya, Yesus senantiasa memberikan kepada mereka pemaknaan baru tentang hidup, makna hidup dan nilai hidup. Tuhan Yesus melakukan transformasi hidup terhadap murid-murid yang dikasihi-Nya. (Matius 4:19, Matius 5:13-16, Yohanes 8:12, 10:14-16, 15:1-8)

Metode pemuridan seperti yang Yesus lakukan itulah yang menjadi contoh bagaimana sebaiknya orang tua membimbing spiritualitas anak, seperti standar yang diberikan pada Ulangan 6 : 1 – 9. Mencurahkan waktu bersama anak, membangun relasi, dan mentransformasi hidup mereka. Memang ini tampak sangat sulit. Orang tua seringkali disibukkan oleh tuntutan pekerjaan, bahkan oleh tanggung jawab pelayanan. Jangankan membimbing spiritualitas anak, punya waktu untuk bersama dengan anak-anak saja sangat susah, apalagi menanyakan perkembangan mereka. Dari hasil survei, hanya 23.2% orang tua yang ayah/ibu sering mendiskusikan kemajuan anaknya, bahkan 19.2% tidak pernah melakukan  hal tersebut.


Dengan adanya fakta-fakta tersebut, apa yang gereja dapat lakukan ?


Tidak semua pasangan yang akan menikah benar-benar sudah siap untuk menjalankan fungsi dan tanggung jawab sebagai suami dan istri seperti yang tertulis dalam Efesus 5 : 22 - 33. Banyak dari mereka yang tidak siap untuk menjadi seorang ayah yang mendidik anak-anak di dalam ajaran serta nasihat Tuhan (Efesus 6 : 4) dan menjadi seorang ibu yang mengasuh dan merawat anak-anaknya (1 Tesalonika 2 : 7). Bahkan yang sudah menjadi orang tua belasan tahun pun hanya sedikit yang membimbing spiritualitas anak dengan mencurahkan waktu bersama anak, membangun relasi, dan mentransformasi hidup mereka (Ulangan 6 : 1 – 9). Prinsip-prinsip dasar mengenai pernikahan Kristen dan pengasuhan anak yang sesuai Alkitab perlu ditanamkan dengan benar, bukan hanya ditabur saja (1 arah). Calon pengantin perlu melakukan refleksi yang mendalam ketika dalam proses pembinaan tersebut, serta meminta Tuhan membimbing dalam kelemahan-kelemahan yang ada. Kurikulum pembinaan persiapan pernikahan juga sebaiknya senantiasa disempurnakan, menyesuaikan dengan ilmu yang semakin berkembang dan juga kebutuhan/tantangan zaman.


Prinsip kehidupan pernikahan dan keluarga Kristen yang ditanam saat pembinaan persiapan pernikahan bisa jadi sama dari tahun ke tahun, dari satu generasi ke generasi lainnya. Akan tetapi, situasi dan kondisi yang dialami setiap pasangan setelah menjalani pernikahan sangat bervariasi, bahkan dengan adanya perkembangan zaman. Para orang tua baru memiliki kesulitannya masing-masing sesuai dengan kondisi yang mereka jalani saat itu. Biasanya mereka berkonsultasi pada orang tua mereka dan mendapat saran sesuai dengan pengalaman masa lalu. Sayangnya, belum tentu saran tersebut efektif digunakan pada masa kini. Oleh karena itu dibutuhkan komunitas khusus di gereja sehingga para pasangan muda yang hidup di generasi yang sama dapat saling membantu dan menguatkan, serta dapat belajar bersama dengan mendapat bimbingan dari Hamba Tuhan.


Tidak hanya pasangan muda, tetapi seluruh pasangan yang sudah menjalani kehidupan pernikahan cukup lama juga perlu terus diperkokoh. Hal ini bertujuan agar suami dan istri terus mengingat dan menjalankan fungsinya dengan baik, sesuai dengan apa yang Tuhan inginkan dalam kehidupan pernikahan dan juga kehidupan berkeluarga.


Semoga para orang tua Kristen di Indonesia dapat membimbing kerohanian anak seperti Yesus membimbing dan mentransformasi kehidupan para murid-Nya.

 

Soli Deo Gloria