Dinamika Hidup Generasi Muda Kristen Indonesia

Oleh : Handi Irawan D, Cemara A. Putra

Bunuh diri, lari dari rumah, dan obat terlarang merupakan fenomena sosial yang banyak terjadi pada remaja. Bagaimana realita permasalahan tersebut pada generasi muda Kristen di Indonesia ? Mari kita melihat hasil survei Bilangan Research Center (BRC) yang berjudul Spiritualitas Generasi Muda Kristen di Indonesia. Pada tahun 2018, BRC telah melakukan survei terhadap 4.095 generasi muda Kristen yang tersebar di 42 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. Mari kita lihat fakta-faktanya satu demi satu.


Sebanyak 14.2% responden pernah berpikir untuk bunuh diri, dan bahkan 3.5% sudah pernah mencoba untuk bunuh diri. Ini menunjukkan bahwa 1 dari 4 pemuda yang pernah berpikir bunuh diri telah mencoba melakukan hal tersebut. Jika dilihat berdasar daerah, maka Jabodetabek menempati urutan pertama dalam persentase, baik yang pernah berpikir bunuh diri (21.3%) maupun yang pernah mencoba melakukannya (6.3%). Sedangkan daerah yang paling sedikit untuk yang pernah memikirkan hal tersebut adalah Bali & Nusa Tenggara (8.7%), serta yang paling sedikit pernah mencoba adalah Sulawesi (1.4%).

Secara nasional, 3 alasan terbesar yang membuat mereka berpikir ingin mengakhiri hidupnya adalah stress (14.1%), lelah masalah hidup (13.2%), dan putus harapan (7.9%). Jika dikelompokkan dari keseluruhan alasan, 21.3% disebabkan oleh masalah dalam keluarga, baik itu bertengkar dengan saudara, lelah masalah keluarga, kecewa dengan orang tua, dan berbagai masalah lainnya dalam keluarga.

Bagi mereka yang pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya, ternyata 3 alasan terbesarnya sama dengan mereka yang pernah dalam tahap berpikir, yaitu stress/depresi (31.5%), lelah masalah hidup (9.8%), dan putus asa (6.3%).


Sebanyak 9.8% responden pernah lari dari rumah. Beberapa hal yang menjadi alasan mereka yaitu masalah dengan keluarga (12.2%), tidak tahan dengan keluarga (11.4%), sering diomeli/dimarahi (10.2%), bertengkar dengan orang tua (8.5%), dan lain sebagainya. Daerah yang paling banyak remaja/pemuda Kristen pernah melarikan diri dari rumah adalah Maluku & Papua (15.4%), sedangkan yang paling sedikit adalah di Bali & Nusa Tenggara (7.3%).


Sebanyak 1.8% responden pernah mengkonsumsi obat terlarang. Maluku & Papua merupakan peringkat tertinggi (4.1%), sedangkan paling sedikit adalah di Jabodetabek (0.6%) dan Sulawesi (0.6%). Dalam survei tersebut tidak ditanyakan apa yang menyebabkan mereka mengkonsumsi obat terlarang.

 

Selain menanyakan alasan secara langsung apa yang menjadi penyebab para pemuda pernah mengalami ketiga hal di atas tersebut, survei ini juga menanyakan suasana yang mereka rasakan dalam lingkungan kehidupan mereka dan juga motivasi hidup mereka. Hasil menunjukkan bahwa semua hal tersebut berperan cukup signifikan dalam mempengaruhi potensi mereka untuk masuk dalam 3 masalah yang telah dibahas sebelumnya. Mari kita lihat sejauh mana peran tersebut. Sebagai catatan, dalam tulisan kali ini hanya akan ditampilkan yang pengaruhnya sangat signifikan.


Setiap orang yang sedang mengalami masalah pasti membutuhkan pertolongan. Dalam Matius 11:28 Yesus berkata “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”. Ini salah satu keuntungan menjadi pengikut Kristus. Sudah tentu ini jalan yang dipakai pemuda Kristen ketika menghadapi masalah. Beberapa di antara mereka ada yang merasa bahwa Tuhan menjawab doa-doa mereka dan ada juga yang tidak.  Sebagian dari mereka juga merasa bahwa Tuhan menolong mereka dalam mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi, sedangkan lainnya tidak merasakan pertolongan Tuhan tersebut. Apakah ini berpengaruh pada langkah negatif yang mereka ambil ?

Pemuda yang tidak merasa bahwa Tuhan menjawab doa akan 2 kali lebih mungkin untuk berpikir bunuh diri dan bahkan 4 kali lebih mungkin untuk mencobanya. Mereka 2 kali lebih mungkin untuk melarikan diri dari rumah dan 4 kali lebih mungkin untuk mengkonsumsi obat terlarang.

Selain itu pemuda yang tidak merasa bahwa Tuhan menolong mengatasi masalah mereka akan 3 kali lebih mungkin untuk mencoba bunuh diri dan hampir 4 kali lebih mungkin untuk mengkonsumsi obat terlarang.

Bagaimana dengan pertolongan yang lebih terlihat, terutama dari keluarga sebagai lingkungan terdekat ? Apakah akan ada perbedaan dari pemuda yang merasa bahwa ayah/ibu mereka selalu mempunyai waktu untuk mereka ketika mereka mengalami masalah dengan yang tidak merasakan hal tersebut ?

Ternyata perbedaannya juga cukup signifikan. Mereka yang tidak merasa bahwa ayah/ibu mereka selalu mempunyai waktu untuk mereka ketika mereka mengalami masalah akan 2 kali lebih mungkin untuk berpikir bunuh diri dan juga hampir 3 kali lebih mungkin untuk mencobanya, serta 2 kali lebih mungkin untuk melarikan diri dari rumah.

Selain orang tua, pertolongan juga dapat berasal dari sahabat. Mereka yang tidak merasa bahwa sahabat-sahabat terdekat akan siap menolong saat menghadapi masalah yang berat hampir 2 kali lebih mungkin untuk berpikir bunuh diri dan juga hampir 3 kali lebih mungkin untuk mencobanya. Selain itu mereka juga hampir 2 kali lebih mungkin untuk melarikan diri dari rumah.

Guru di sekolah atau pun dosen dapat juga dijadikan tempat untuk berkonsultasi masalah yang berat, karena dianggap lebih berpengalaman. Mereka yang tidak merasa bahwa setidaknya ada seorang guru/dosen yang selalu siap menolong akan 2 kali lebih mungkin untuk berpikir bunuh diri, 2 kali lebih mungkin untuk mencobanya,  dan 2 kali lebih mungkin untuk mengkonsumsi obat terlarang.

Bila disimpulkan, perasaan bahwa Tuhan menolong dan menjawab doa adalah yang paling signifikan dalam mempengaruhi potensi remaja untuk melakukan tindakan yang negatif, khususnya mencoba bunuh diri dan mengkonsumsi obat terlarang. Pertolongan orang tua lebih berpengaruh pada percobaan bunuh diri dan lari dari rumah, sedangkan guru/dosen lebih berpengaruh pada konsumsi obat terlarang dan percobaan bunuh diri. Sahabat yang siap menolong, meskipun pengaruhnya lebih kecil dari pihak-pihak yang disebutkan sebelumnya, cenderung lebih berpengaruh pada percobaan bunuh diri dan lari dari rumah.


Amsal 29 : 18a berkata “Tanpa visi, manusia akan hancur” (Terjemahan dari KJV). Hal ini menunjukkan pentingnya sebuah tujuan dalam hidup manusia. Rupanya hal ini juga berlaku pada generasi muda di Indonesia. Remaja/pemuda yang sudah belum/tidak memiki tujuan dalam hidupnya cenderung akan lebih mudah berpikir serta mencoba bunuh diri, lari dari rumah, serta mengkonsumsi obat terlarang.

Hasil survei menunjukkan bahwa remaja yang tidak memiki cita-cita dan mimpi-mimpi yang besar akan 4 kali lebih mungkin untuk bunuh diri, dan 2 kali lebih mungkin untuk lari dari rumah atau pun mengkonsumsi obat terlarang. Mereka yang tidak mengetahui tujuan hidup di dalam Tuhan 2 kali lebih mungkin untuk mengkonsumsi obat terlarang dan juga 2 kali lebih mungkin untuk mencoba bunuh diri.

Salah satu cita-cita yang sering kali kita jumpai pada para remaja adalah membahagiakan orang tua di masa mendatang. Hasil survei secara mengejutkan menunjukkan bahwa ini sangat berpengaruh pada keinginan anak untuk tidak melakukan hal negatif yang merugikan dirinya. Mereka yang tidak punya keinginan membahagiakan ortu akan 5 kali lebih mungkin untuk mencoba bunuh diri dan 5 kali lebih mungkin untuk mengkonsumsi obat terlarang.


Suasana yang tidak nyaman pada suatu lingkungan tentu akan membuat kita tidak betah untuk berada di sana. Jika lingkungan tersebut adalah lingkungan di mana kita hidup sehari-hari, tentu saja berpotensi untuk menyebabkan kita tidak nyaman dengan hidup ini dan mencoba mencari pelarian atau pun ingin segera mengakhiri hidup kita karena merasa lelah dengan semua masalah yang ada.

Berdasar hasil survei, kenyamanan di rumah merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada potensi remaja melakukan tindakan negatif yang merugikan dirinya sendiri. Mereka yang tidak merasa nyaman di rumah dan tidak menikmati keberadaannya di tengah keluarga cenderung 5 kali lebih mungkin untuk mengakhiri hidupnya dan 3 kali lebih mungkin untuk lari dari rumah serta 3 kali lebih mungkin untuk mengkonsumsi obat terlarang. Mereka yang tidak bebas mengeluarkan pikiran dan perasan di rumah cenderung 3 kali lebih mungkin untuk mencoba mengakhiri hidupnya dan 2 kali lebih mungkin untuk melakukan tindakan negatif lainnya. Hal ini sangat dipahami karena rumah merupakan lingkungan tempat mereka tinggal, tempat di mana mereka menghabiskan sebagian besar waktunya, dan juga tempat perlindungan terakhir bagi mereka.

Relasi dan kenyamanan dengan Tuhan juga cukup berperan dalam potensi remaja melakukan tindakan negatif. Ini seharusnya menjadi penguat utama dalam menjalani kehidupan. Mereka yang tidak merasakan persekutuan yang akrab dengan Tuhan akan cenderung 2 kali lebih mungkin untuk berpikir dan bahkan mencoba bunuh diri, juga 2 kali lebih mungkin untuk lari dari rumah dan mengkonsumsi obat terlarang. Memang pengaruhnya tidak sebesar dengan kenyamanan di rumah, karena komunikasi dengan Tuhan biasanya tidak seintensif dengan keluarga.


Dari pemaparan mengenai lingkungan kehidupan para remaja dan juga motivasi hidup mereka, dapat disimpulkan bahwa kenyamanan dalam lingkungan khususnya keluarga merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi. Para Orang Tua perlu menciptakan suasana yang nyaman di rumah serta adanya kebebasan bagi semua anggota keluarga untuk mengeluarkan pikiran dan perasaan. Anak-anak perlu dihargai baik kehadiran, pikiran, maupun perasaannya.

Hal paling berpengaruh setelah kenyamanan lingkungan adalah tujuan hidup. Penting bagi para remaja untuk memiliki tujuan hidup. Memang salah satu tujuan yang paling sering ditemukan adalah menyenangkan orang tua. Akan tetapi, sebenarnya Tuhan sudah menyiapkan tujuan hidup kita masing-masing secara spesifik. Efesus 2 : 10 berkata “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.”. “Buatan Allah” dalam bahasa aslinya menggunakan kata poiema, yang bila diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi masterpiece. Ini menunjukkan bahwa setiap manusia merupakan mahakarya Allah yang unik. Dari keunikan tersebut kita dapat melihat bahwa Tuhan memiliki rencana yang spesifik bagi setiap manusia. Hendaknya para remaja ditanamkan hal ini sedini mungkin, sehingga mereka dapat bergumul akan tujuan hidupnya di dalam Tuhan, dan dapat menjadi motivasi utama dalam hidupnya. Motivasi ini yang akan membuat para remaja akan bertahan menghadapi setiap tantangan hidup, karena mereka tahu bahwa hidup mereka berharga dan ada misi yang Tuhan percayakan bagi setiap pribadi mereka.

Tidak cukup hanya menciptakan keluarga yang nyaman dan menanamkan pentingnya tujuan hidup. Perlu juga adanya lingkungan yang siap menolong para remaja ketika mereka mengalami kesulitan, baik itu orang tua, guru/dosen, dan sahabat. Tentu saja mereka ini semua adalah alat atau perantara yang dipakai Tuhan untuk menolong. Hasil juga menunjukkan bahwa mereka yang yakin bahwa Tuhan yang selalu menolong dan menjawab doa akan lebih kuat dalam menjalani tantangan hidup.


Lalu, apa yang gereja dapat lakukan ?


Banyak remaja yang enggan untuk menceritakan pergumulannya pada orang-orang di lingkungan gereja, terutama pada hamba Tuhan. Bahkan mungkin mereka tidak menjadikan hamba Tuhan sebagai opsi untuk tempat mereka berkeluh kesah dan meminta masukan. Sebagian dari mereka takut akan merasa dihakimi bila menceritakan masalah dan pergumulan mereka.

Oleh karena itu maka Hamba Tuhan perlu bersikap terbuka terhadap jemaat dan mudah dijangkau jika ada jemaat yang membutuhkan. Bukan hanya hamba Tuhan, majelis juga perlu bersikap terbuka dan ramah bagi jemaat, khususnya remaja. Majelis perlu memposisikan dirinya sebagai orang dewasa yang siap untuk diminta masukan dan pertolongan jika generasi muda membutuhkan. Jika hamba Tuhan dan majelis melakukan ini, generasi muda memiliki tambahan opsi untuk tempat berkonsultasi seberat apa pun masalah yang mereka alami.


Berapa banyak remaja yang enggan untuk berkonsultasi dengan hamba Tuhan di gereja karena perbedaan usia dan bahkan menganggap bahwa cara berpikir mereka kuno/kolot ? Perbedaan usia dan perbedaan zaman membuat para remaja berpikir bahwa para hamba Tuhan tersebut tidak memahami apa yang mereka alami. Mereka mengira bahwa saran yang akan diberikan tidak relevan dengan kondisi masa kini.

Perlu adanya seorang hamba Tuhan atau konselor yang seusia atau sejaman dengan para remaja, sehingga para remaja tersebut merasa nyaman untuk berkonsultasi. Tentu saja ini juga disebabkan karena mereka  lebih memahami cara berpikir remaja masa kini dan dapat menyampaikan dengan bahasanya.


Orang tua adalah lingkungan terkecil dari anak-anaknya, dan merekalah yang paling mengerti sifat dan perilakunya. Akan lebih efektif jika orang tua yang menolong dan membimbing anak yang stress/depresi. Untuk itu diperlukan pembekalan dari gereja kepada para orang tua agar mereka memiliki dasar dan wawasan jika suatu saat anak mereka mengalami hal tersebut, bahkan mengenali gejala-gejala sebelumnya. Orang tua perlu menciptakan suasana di mana mereka selalu siap sedia jika anak meminta pertolongan ketika menghadapi masalah yang berat, serta selalu peka dengan kondisi anaknya.



Soli Deo Gloria